welcome

Hai hai hai ...
Blog ini adalah blog yang berisi hal-hal seputar pendidikan, kebahasaan, kesusastraan, percintaan dan umum...

Selamat datang di blog saya ...
Selamat membaca tulisan-tulisan saya ...
Semoga menggugah selera ...
Selera Anda adalah inspirasi saya ...


Oh ya jangan lupa silahkan kunjungi pula akun saya yang lain :
*Twitter https://twitter.com/misy_2014
*Email http://profile.yahoo.com/AKCYPOGQN3Q6NZG52KVHGINC6E/
*Linked in : https://id.linkedin.com/pub/anita-misriyah-missy/a4/9b5/31a
*Ask.fm http://ask.fm/mis_missy
*Skype : anita.misriyah1
*Instagram : anita_misriyah & mici_shoppy
*Line : Missy
*WA : 085 740 276 227


Thank you all ... ^,^

Rabu, 15 Juni 2011

Perkembangan Sastra di Indonesia


PERKEMBANGAN SASTRA TAHUN 2000-2009

Ditulis untuk memenuhi salah satu tugas kelompok
Mata Kuliah : Sejarah Sastra
Dosen : A. Rifai








Oleh :
              NAMA                                        NPM
*    Anita Misriyah                        08410204
*    Irma Nor H                              08410
*    Leily Sa’adah                          08410
*    Nuniek S                                 08410
*    Sulicha                                    08410



IKIP PGRI SEMARANG
FAKULTAS PENDIDIKAN BAHASA DAN SENI
PENDIDIKAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA
2009

BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Belakangan ini perkembangangan sastra Indonesia telah mengalami perubahan, khususnya dalam hal kebebasan berekspresi. Menurut beberapa para ahli,mengatakan bahwa sastra itu adalah kebebasan itu sendiri. Jadi tidak ada batasan-batasan yang bisa menahan lajunya perkembangan kesusasteraan khususnya di Indonesia.
Pada dasarnya perkembangan sastra itu selalu berkembang dan perkembangan itu menurut para ahli ditandai dengan periode-periode, yang pada dasarnya memiliki ciri khas tersendiri. Salah satu periode itu adalah sastra pasca-reformasi. Dalam makalah ini saya secara khusus membahas tentang SASTRA INDONESIA PASCA-REFORMASI, yang secara langsung menjadi judul atas makalah ini.
Kehadiran karya sastra merupakan sebuah manifestasi atas kebudayaan yang ada pada saat itu. Terbentuknya sastra pasca-reformasi merupakan hal yang dilematis dari sejarah sastra Indonesia. Periode yang ditandai dengan jatuhnya kekuasaan Soeharto. Periode yang lahir dengan semangat revolusioner. Kemungkinan periode ini merupakan jendela bagi perkembangan kesusasteraan di Indonesia. Dan seharusnya setiap detail dalam perkembangan itu harus terus kita catat dan kita gali.



B. Batasan Masalah
Hal-hal yang menjadi batasan dalam makalah ini adalah :
· Periode Sastra Indonesia (PSI)
·         Latar Belakang perkembangan sastra pasca reformasi
· Peristiwa-peristiwa beras yang memengaruhi lahirnya periode sastra pasca-reformasi.
· Sastrawan yang terlibat dalam perkembangan angkatan pasca-reformasi.
· Jenis-jenis karya sastra yang di hasilkan.
· Karya yang populer
C. Tujuan
Makalah ini Penulis buat untuk menambah pengetahuan akan perkembangan sastra Indonesia pasca-reformasi. Mengenai apa saja yang terjadi dan bagaimana proses lahirnya sastra pasca-reformasi. Tujuan yang jelas adalah supaya mengenal bentuk, struktur dan arah perkembangan periode sastra pasca-reformasi.






BAB II
PEMBAHASAN

PERIODE SASTRA INDONESIA
Periodisasi Sastra Indonesia selama ini telah dipetakan sangat beragam oleh ahli sastra Indonesia. HB. Jassin, misalnya, membagi periodisasi sastra menjadi dua, yakni (a) Sastra Melayu Lama, dan (b) Sastra Indonesia Modern, yang meliputi ; (1) Angkatan 20, (2) Angkatan 33 atau Pujangga Baru; dan (3) Angkatan 45. Sementara itu Boejoeng Saleh membagi periodisasi sejarah sastra Indonesia menjadi 4: (1.) Sebelum tahun 20-an, (2). Antara tahun 1920 – 1933; (3). 1933 – Mei 1942, dan (4). Mei 1942 hingga kini (1956).
Sedangkan Nugroho Notosusanto membagi PSI menjadi 2: (a) Sastra Melayu Lama, (b) Sastra Indonesia Modern. Sastra modern ini dibagi menjadi 2: (1) masa Kebangkitan (1920-1945): yang dibagi lagi menjadi: periode 1920, Periode 1933, dan Periode 1942 dan (2) Masa Perkembangan (1945-sampai tahun 60-an), yang meliputi: periode ’45 dan periode ’50. lain lagi dengan Bakri Siregar. Dia membagi periodisasi sejarah sastra Indonesia menjadi 4 yaitu (1) Periode Pertama sejak masa abad 20 sampai 1942, (2) Periode Kedua 1942 – 1945, (3) Periode Ketiga 1945 – 1950, dan (3) Periode Keempat 1950 – skrg (1964). Dan Ajip Rosidi membadi periosisasi sejarah Indonesia menjadi 2 kelopok besar, yaitu (1) Masa Kelahiran dan Masa Penjadian (1900 – 1945), yang meliputi (a). Periode awal 1933; (b). Periode 1933 – 1942, dan (c). Periode 1942 – 1945, dan (2) Masa Perkembangan (1945 – 1969), yang meliputi (a) Periode 1945 – 1953, (b) Periode 1953 – 1961, dan (c). Periode 1961 – 1969. Sedangkan A. Teeuw, menunjuk angkatan tahun 1920 sebagai lahirnya kesusastraan Indonesia modern. Menurut Teeuw para pemuda saat itu untuk pertama kalinya menyatakan perasaan dan ide yang pada pokoknya menyimpang dari bentuk-bentuk sastra Melayu, Jawa, dan sastra lainnya yang lebih tua. Sementara Ajip Rosidi menunjuk tahun tersebut karena pada saat itu para pemuda Indonesia (Yamin, Hatta, dll) mengumumkan sajak-sajak mereka yang bercorak kebangsaan.

         Korrie Layun Rampan Merumuskan Angkatan 2000.Pada tahun 1998 Korrie Layun Rampan, memproklamasikan Angkatan 2000. Korrie Layun Rampan memperkenalkan Angkatan 2000 justru pada tahun 1998. Sastrawan yang digolongkan ke dalam Angkatan 2000 kiprah penulisannya sudah dimulai sejak tahun 1980-an, bahkan ada yang telah meninggal
Penamaan Angkatan 2000 tidak ada hubungannya dengan semangat, kegelisahan,
dan cirri-ciri yang menghasilkan sebuah gerakan estetik. Hal ini berbeda dengan langkah yang diperlihatkan Sutan Takdir Alisyahbana dalam melahirkan Angkatan Poedjangga Baroe dan juga langkah-langkah H.B. Jassin dalam melahirkan Angkatan 1966. Sementara penamaan Angkatan 1945 yang mengambil peristiwa sejarah yang telah “disepakati” setelah melalui proses perdebatan panjang. Dalam konteks itu, pemetaan yang dilakukan Korrie dapat digunakan sebagai titik awal keberangkatan untuk menyusun sejarah sastra Indonesia yang lebih sempurna.
Membongkar PSI Klasik PSI di atas dipertanyakan dengan tajam oleh para pembicara. Menurut Ida Nurul Chasanah dan Dia Arimbi, bagaimana nasib karya-karya yang lahir sebelum itu tetapi di muat di surat–surat kabar, apakah ia bukan termasuk dalam khazanah sastra Indonesia? Bagaimana pula dengan banyaknya karya sastra berbahasa Melayu yang ditulis oleh orang-orang peranakan Cina di Indonesia, tetapi tidak pernah diperhitungkan oleh para ahli sastra dalam pembicaraan mengenai periodisasi sastra Indonesia? Menurut IdaNurul Chasanah dan Heny Subandiyah fenomena pemetaan PSI secara reduktif itu disebabkan oleh konstruksi kesejajaran atau analogi antara sejarah sastra dengan sejarah politik, sehingga tidak mengherankan jika masyarakat sastra Indonesia kehilangan kepekaan terhadap operasi kekuasaan kolonial yang terus berlangsung bahkan sampai pada masa yang jauh sesudah proklamasi kemerdekaan Indonesia. Sebagai misal, penulisan dan diskusi mengenai sejarah sastra Indonesia sampai tahun 1970-an terpusat hanya pada karya -karya sastra yang diterbitkan oleh Balai Pustaka, Poejangga Baroe, karya sastra yang disebut sebagai “sastra serius” dan sejenisnya. Padahal, sebagaimana yang kemudian mulai terbuka sejak 1980-an, di luar Balai Pustaka terdapat banyak penerbit, termasuk surat kabar, yang menerbitkan karya sastra yang sesungguhnya bisa dikategorikan ke dalam karya sastra Indonesia juga.
Dengan demikian, Teeuw dan Ajip Rosidi secara apriori telah menyimpulkan kelahiran kesusastraan Indonesia hanya berdasarkan karya-karya yang dipublikasikan sebagai buku. Karya-karya yang terbit dalam majalah dan surat kabar telah ditelenggelamkan sedemikian rupa. Oleh karena itu, pelacakan lebih lanjut mengenai sumbangan media massa bagi kesusastraan Indonesia agaknya merupakan tuntutan yang mendesak.Menafikkan sastra yang dimuat di majalah dan koran, sama halnya dengan menenggelamkan sebagian dari khazanah kesusa straan kita. Hal yang sama juga terjadi pada periode zaman Jepang dan terus berlanjut sampai kini .
Rachmat Djoko Pradopo berpendapat bahwa sesungguhnya periode-periode sastra tidak tersusun mutlak seperti balok-balok batu yang dideretkan, yaitu periode satu diganti periode yang lain dengan batas tegas. Periode-periode itu saling bertumpang tindih sebab sebelum periode yang satu habis atau lenyap sudah timbul angkatan sastra yang lain, bahkan pada periode itu angkatan sastra yang lama masih menunjukkan kekuatan atau integrasinya. Gambaran sesungguhnya periode-periode sejarah sastra Indonesia bertumpang tindih sebagai berikut. (1) Periode Balai Pustaka: 1920 – 1940, (2) Periode Pujangga Baru: 1930 – 1945, (3) Periode Angkatan 45: 1940-1955, (4) Periode Angkatan 50: 1950-1970, dan (5) Periode Angkatan 70: 1965 – skrg (1984)

         Faktor Pembaca Diabaikan Menurut Ida Nurul Chasanah idealnya sejarah sastra hendaknya mewacanakan unsur seperti semesta-karya-pengarang-pembaca. Selama ini, penulisan sejarah sastra yang ditemukan seringkali mengabaikan unsur “pembaca”. Artinya, sejarah tentang respon “pembaca” terhadap karya tersebut seringkali diabaikan dalam penulisan sejarah sastra. Aspek ini kemudian ditawarkan oleh Hans Robert Jauss dalam teori Resepsi. Dengan demikian, kita bisa memanfaatkan teori resepsi sebagai salah satu alternatif dalam mewujudkan idealisme penulisan sejarah sastra Indonesia.
Ida juga menambahkan Teeuw dan Ajip Rosidi secara apriori telah menyimpulkan kelahiran kesusastraan Indonesia hanya berdasarkan karya-karya yang dipublikasikan sebagai buku. Karya-karya yang terbit dalam majalah dan surat kabar telah ditelenggelamkan sedemikian rupa. Sastra Lisan, Bahasa Melayu Rendah, dan Surat Kabar Diabaikan Dalam sistem sastra, majalah atau surat kabar merupakan bagian penting dalam proses reproduksi karya sastra. Lewat majalah atau surat kabar itulah, karya sastra direproduksi dan sekaligus didistribusikan. Yang perlu dicatat bagi kepentingan sejarah sastra adalah karya-karya yang bertebaran dan tercecer itu. Dengan demikian, pelacakan data kesastraan dalam majalah dan surat kabar juga sekaligus untuk mengungkap dinamika yang terjadi pada masyarakat pembacanya.Dia Arimbi, mengulas lebih konseptual dan teoritis. Menurut Dia ternyata periodisasi ini tidaklah tanpa problema karena periodisasi A Teeuw tidak hanya berlandaskan pada periode dan tema besar tetapi juga ada faktor-faktor lain, seperti politik kolonial yaitu pembentukan Balai Pustaka sebagai “badan sensor” pemerintah kolonial Hindia Belanda, dipakainya Melayu Tinggi dan bukan Melayu rendahan dan bukan “heteroglossia” bahasa Melayu yang dipakai di Hindia Belanda, serta yang tak kalah penting adalah diabaikannya sastra (Melayu) lisan, serta munculnya tema-tema yang lain dan lain sebagainya. Oleh karena itu pada masa pascakolonial seperti sekarang masih relevankah temuan Teeuw ataukan kita perlu membuat landasan-landasan tandingan agar periodisasi Sastra Indonesia lebih “mengindonesia” dan mencerminkan the “Indonesian soul and spirit.”
Oleh karena itu, keempat pembicara itu mengusulkan agar periodisasi sastra Indonesia lebih ”mengIndonesia” dan mencerminkan the Indonesian soul and spirit, periodesasi sastra Indonesia perlu direkonstruksi dengan (1) pembebasan sastra dari campur tangan politik, (2) memperhatikan peran sastra lisan yang merupakan ciri khas kedaerahan, termasuk bentuk-bentuk karya sastra di luar sastra Melayu.






PERKEMBANGAN SASTRA INDONESIA PASCA-REFORMASI
A. Latar Belakang Lahirnya Angkatan Pasca-Reformasi
Hal ikhwal kebebasan selalu menarik perhatian siapapun dan tidak akan pernah selesai diperbincangkan. Negeri terjajah berjuang untuk terbebas dari penjajah, golongan minoritas berjuang untuk terbebas dari dominasi golongan mayoritas, pelaku kriminal mengharap kebebasan dari penjara dan hukuman, orang miskin berusaha untuk terbebas dari keserba-kekurangan, orang bodoh berusaha untuk terbebas dari keserba-tidak-tahuan. Kaum intelektual bersikeras memperjuangkan kebebasan berpikir dan berbicara.
Sastra, sebagai produk peradaban dan daya pikir manusia, tak bisa lepas dari perihal kebebasan. Bahkan konon, sastra adalah kebebasan itu sendiri. Sastra adalah kebebasan dan pembebasan. Sastra adalah pencerahan. Kebebasan dalam sastra adalah kemerdekaan untuk berkreasi dan berimaginasi. Kebebasan kreatif, itulah yang dibela oleh para pelaku sastra dalam menjalani laku sastranya.
Angkatan Pasca-Reformasi muncul setelah reformasi yang dilakukan pada tahun 1998 yang beawal di Jakarta. Sejak reformasi 1998 bergulir, gelombang kebebasan memang berjalan bak air bah yang menerjang apa saja. Tidak berbeda halnya dalam ranah sastra. Atas nama kebebasan berkreasi, hal-hal yang dahulu dianggap tabu untuk dipertontonkan justru menjadi tontonan yang sangat laku dan dipuji banyak orang. Seks dan pornografi menjadi menjadi wilayah yang tidak tabu lagi untuk dieksplorasi dalam karya-karya sastra pasca reformasi, baik oleh pengarang lelaki maupun perempuan.





B. Peristiwa Besar yang Terjadi pada Masa Reformasi
Reformasi di Indonesia ditandai dengan jaruhnya rezim Soeharto. Secara tidak langsung dengan lengsernya Soeharto dari jabatannya sebagai presiden maka berakhir pula sebuah tirani, yang selama ini menjadi belenggu yang terikat lekat di kaki setiap rakyat Indonesia. Reformasi diharapkan dapat memfalitasi rakyat Indonesia dalam memperoleh kebebasan yang selama ini mereka harapkan.
Lahirnya reformasi ini menandakan kebebasan bagi para sastrawan yang selama ini selalu terkungkung dalam lembah kelam. Bagi mereka yang memiliki sifat revolusioner, kehadiran reformasi ini merupakan momok yang selalu diidam-idamkan. Akan tetapi, kenyataaannya malah membuat mereka semakin radikal.
Berikut adalah momen penting yang terjadi sepanjang periode ini :
  • 1998: Pada 21 Mei 1998, Soeharto lengser dari jabatannya. B.J. Habibie menggantikannya. Terjadi kerusuhan 13-14 Mei 1998, yang mengakibatkan banyak mal yang terbakar, yang menelan banyak korban jiwa. Perempuan keturunan Tionghoa juga banyak yang menjadi korban perkosaan. Buku-buku karya sastrawan Lekra bisa muncul ke permukaan. Ayu Utami mengibarkan sastra yang beraroma seks melalui Saman. Harian Kompas menyambutnya dengan istilah sastra wangi . Majalah Tempo terbit kembali.
  • 1999: Pemilu demokratis kedua yang diselenggarakan di Indonesia setelah Pemilu 1955. PDI Perjuangan yang dipimpin Megawati Soekarnoputri memperoleh suara terbesar. Namun, yang terpilih menjadi presiden adalah K.H. Abdurrahman Wahid (Gus Dur).
  • 2000: Korrie Layun Rampan mengumumkan adanya Angkatan 2000. H.B. Jassin meninggal di Jakarta. Buku Aku Ingin Jadi Peluru karya Wiji Thukul terbit.
  • 2001: Mulai 2001, penghargaan Khatulistiwa Literary Award (KLA) diberikan kepada sastrawan yang menghasilkan karya sastra terbaik. Mereka yang pernah mendapatkan penghargaan ini antara lain Goenawan Mohamad, Remy Sylado, Hamsad Rangkuti, Seno Gumira Ajidarma, Linda Christanty, Sapardi Djoko Damono, Joko Pinurbo, Gus tf., Acep Zamzam Noor.
  • 2002: Majalah Horison menerbitkan buku Horison Sastra Indonesia yang terdiri dari empat kitab, yakni kitab puisi, cerpen, novel, dan drama. Dalam buku ini, Hamzah Fansuri yang hidup di abad ke-17 dimasukkan sebagai sastrawan Indonesia yang pertama.
  • 2003: Sapardi Djoko Damono dan Ignas Kleden mendapat penghargaan Ahmad Bakrie Award karena jasanya di bidang kesusastraan dan pemikiran. Sastrawan dan intelektual yang menerima penghargaan yang sama pada tahun-tahun berikutnya adalah Goenawan Mohamad, Nurcholish Madjid, Budi Darma, Sartono Kartodirdjo. Frans Magnis Soeseno yang seharusnya mendapatkan penghargaan tersebut menolak karena keterkaitan perusahaan Bakrie dengan bencana Lumpur Lapindo di Sidoarjo, Jawa Timur.
  • 2004: Pemilihan presiden secara langsung yang dilakukan pertama kali di Indonesia. Soesilo Bambang Yudhoyono terpilih sebagai presiden, mengalahkan Megawati. Di dunia sastra, para sastrawan muda mendeklarasikan lahirnya generasi sastrawan cyber. Sastra di internet merupakan terobosan baru bagi para sastrawan untuk berekspresi dan mempublikasikan karyanya secara bebas. Novel Ayat-ayat Cinta karya Habiburrahman El Shirazy terbit. Yayasan Lontar mendokumentasikan biografi sastrawan Indonesia, di antaranya Pramoedya Ananta Toer, Agam Wispi, Ahmad Tohari, Umar Kayam, Sapardi Djoko Damono, Sutan Takdir Alisjahbana, Putu Oka Sukanta, dan lain-lain. Aktivis Hak
Asasi Manusia (HAM) Munir dibunuh. Buku Sastra Indonesia dalam Enam Pertanyaan karya Ignas Kleden terbit.
  • 2005: Novel Laskar Pelangi karya Andrea Hirata terbit. Novel ini dan novel Ayat-ayat Cinta menjadi novel paling laris (best seller) dalam sejarah penerbitan novel di Indonesia. Kedua novel ini juga ditransformasi ke film.
  • 2006: Yayasan Lontar menerbitkan Antologi Drama Indonesia: 1895-2000. Penerbitan buku ini menunjukkan bahwa sejarah sastra Indonesia bukan dimulai pada 1920, melainkan pada 1895. Anton Kurnia menerbitkan Ensiklopedi Sastra Dunia.
  • 2007: Novel Kalatidha karya Seno Gumira Ajidarma terbit. Buku kumpulan puisi Otobiografi karya Saut Situmorang terbit. Saut adalah salah satu sastrawan yang menggerakkan sastra cyber, sastrawan Ode Kampung, dan majalah Boemipoetra.
  • 2008: Buku-buku Pramoedya Ananta Toer yang dicetak ulang dan buku-buku korban tragedi 1965 yang ingin meluruskan sejarah marak di toko-toko buku, dan menjadi buku laris. Misalnya, Suara Perempuan Korban Tragedi 65 karya Ita F. Nadia.
C. Sastrawan yang Terlibat Dengan Sastra Indonesia Pasca-Reformasi
Setiap angkatan pasti mempunyai cara dan gaya yang khas dalam mengungkapkan hasrat dan imajinasinya. Hal ini tidak dapat dihindarkan dari sastrawan yang adalah penggerak dan penghadir karya sastra itu sendiri.
Sastra pasca-reformasi diramaikan oleh wajah-wajah baru, namun masih ada juga wajah lama yang masih menghiasi wajah kesusasteraan Indonesia. Berikut ini ada beberapa nama sastrawan yang secara langsung terlibat dalam perkembangsn sastra pasca-reformasi.
  • Keith Foulcher dengan empat bukunya, yakni Sumpah Pemuda: Makna dan Proses Penciptaan atas Sebuah Simbol Kebangsaan Indonesia (2000), Pujangga Baru: Kesusasteraan dan Nasionalisme di Indonesia 1933-1942 (1991), Angkatan 45: Sastra, Politik Kebudayaan dan Revolusi Indonesia (1994), dan Social Commitment in Literature
and The Arts: The Indonesian Institute People s Culture 1950-1965 (1986)
  • Ayu Utami mengibarkan sastra yang beraroma seks melalui Saman.
  • Buku Aku Ingin Jadi Peluru karya Wiji Thukul terbit.
  • Goenawan Mohamad, Remy Sylado, Hamsad Rangkuti, Seno Gumira Ajidarma, Linda Christanty, Sapardi Djoko Damono, Joko Pinurbo, Gus tf., Acep Zamzam Noor, Ignas Kleden,
  • Novel Ayat-ayat Cinta karya Habiburrahman El Shirazy.
  • Novel Laskar Pelangi karya Andrea Hirata.
  • Novel Kalatidha karya Seno Gumira Ajidarma
  • Buku kumpulan puisi Otobiografi karya Saut Situmorang
  • Ayu Utami (pengarang novel Saman, Larung) Djenar Maesa Ayu (pengarang Mereka Bilang Saya Monyet, Jangan Main-Main dengan Kelaminmu dan Nayla), Hudan Hidayat (pengarang Tuan & Nyonya Kosong, bersama Mariana Aminudin), Muhidin M Dahlan (pengarang Tuhan Ijinkan Aku Menjadi Pelacur, Adam & Hawa)
Masih banyak sastrawan yang bermunculan dalam periode ini khususnya para cerpenis yang nama-namanya sudah tidak asing lagi seperti :
  • Budi Darma, Hamsad Rangkuti, Kuntowijoyo, Danarto.
  • Martin Aleida misalnya, mengangkat tema korban politik bagi mereka yang terlibat PKI.
  • Linda Christanty dengan antologinya, Kuda Terbang Maria Pinto (2004)
Begitu juga dengan cerpenis baru yang diprediksikan akan menjadi sastrawan Indonesia selanjutnya, seperti nama-nama berikut :
  • Eka Kurniawan dalam karya pertamanya, antologi cerpen Corat-Coret di Toilet (2000), Cantik itu Luka (2002), Harimau (2004), antologi cerpen Cinta tak Ada Mati (2005)
  • Teguh Winarsho (Bidadari BersayapBelati, 2002), Hudan Hidayat (Orang Sakit, 2001; Keluarga Gila, 2003) Maroeli Simbolon (Bara Negeri Dongeng, 2002; Cinta Tai Kucing, 2003), Satmoko Budi Santoso (Jangan Membunuh di Hari Sabtu, 2003), Mustofa W Hasyim (Api Meliuk di Atas Batu Apung, 2004), Kurnia Effendi (Senapan Cinta, 2004; Bercinta di Bawah Bulan, 2004), Moh. Wan Anwar (Sepasang Maut, 2004), Yusrizal KW (Kembali ke Pangkal Jalan, 2004), Isbedy Stiawan (Perempuan Sunyi, 2004; Dawai Kembali Berdenting, 2004), Triyanto Triwikromo (Anak-Anak Mengasah Pisau, 2003), Damhuri Muhammad (Laras, Tubuhku bukan Milikku, 2005).
  • Cerpenis wanita yang muncul dalam lima tahun terakhir ini, juga tidak dapat diabaikan kontribusinya. Selain Linda Christanty, masih ada deretan cerpenis wanita yang sebenarnya lebih kuat dan matang. Oka Rusmini (Sagra, 2002), Djenar Maesa Ayu (Mereka Bilang Saya Monyet, 2002; Jangan Main-Main (dengan Kelaminmu, 2004), Maya Wulan (Membaca Perempuanku, 2002), Intan Paramadhita (Sihir Perempuan, 2005), Nukila Amal (Laluba, 2005), Weka Gunawan (Merpati di Trafalgar Square, 2004), Labibah Zain (Addicted to Weblog: Kisah Perempuan Maya, 2005), Ucu Agustin (Kanakar, 2005), Evi Idawati (Malam Perkawinan, 2005). Mereka berpeluang mengikuti jejak seniornya, Nh Dini, Titis Basino, Leila S. Chudori, Ratna Indrswari Ibrahim atau Abidah el-Khalieqy.
Beberapa nama di atas menandakan bahwa perkembangan sastra Indonesia pasca-reformasi telah mengalami peningkatan yang signifikan. Hal inilah yang sesungguhnya diharapkan oleh kita, sehingga dapat menghindari kecendrungan stagnasi dalam kesusasteraan Indonesia
D. Jenis Karya Sastra yang Dihasilkan
Sastra pasca-reformasi merupakan gerbang yang menghantarkan sastra Indonesia kealam kebebasan yang selama ini selalu diimpikan oleh setiap sastrawan, khususnya sastrawan Indonesia yang selama ini berada dalam kebuah kurungan yang secara tidak langsung menghambat kreatifitas mereka. Dalam perkembangannya sastra pasca-reformasi lebih diramaikan oleh cerpen-cerpen. Perkembangan cerpen dirasakan sangat cepat karena ruang dan kesempatan untuk berkarya lebih terbuka. Satu hal yang memungkinkan cepatnya perkembangan cerpen karena dipengaruhi oleh sikap revolusionis, kepekaan masyarakat Indonesia untuk sebuah perubahan yang cepat dan signifikan, sehingga menuntut kehadiran sebuah bentuk karya sastra yang bersifat santai, cepat saji, dan mudah dipahami oleh seluruh pembaca dan kecendrungan itu mengarah pada cerpen.
Kehadiran karya sastra lain tidak dapat kita pungkiri dalam perkembangan sastra Indonesia pasca-reformasi ini. Contoh konkret adalah novel. Beberapa novel malah menjadi Best seller di Indonesia, seperti Ayat-ayat Cinta karya Habiburrahman El Shirazy dan Laskar Pelangi karya Andrea Hirata dan keduanya sudah difilmkan. Selain cerpen dan novel, muncul juga beberapa antologi cerpen dan puisi.
E. Karya yang Populer
Dalam perjalanan sastra Indonesia, periode pasca-reformasi merupakan masa paling semarak dan luar biasa. Kini, karya-karya sastra terbit seperti berdesakan dengan tema dan pengucapan yang beraneka ragam. Faktor utama yang memungkinkan sastra Indonesia berkembang seperti itu, tentu saja disebabkan oleh perubahan yang sangat mendasar dalam sistem pemerintahan. Kehidupan pers yang terkesan serbabebas serbaboleh ikut mendorong terjadinya perkembangan itu. Maka, kehidupan sastra Indonesia seperti berada dalam pentas terbuka. Di sana, para pemainnya seolah-olah boleh berbuat dan melakukan apa saja.
Dibandingkan puisi, novel, dan drama, cerpen Indonesia pada paroh pertama pasca reformasi mengalami booming. Cerpen telah sampai pada jatidirinya. Ia tak lagi sebagai selingan di hari Minggu. Kini, cerpenis dipandang sebagai profesi yang tak lebih rendah dari novelis atau penyair. Cerpenis tak diperlakukan sebagai orang yang sedang belajar menulis novel. Kondisi ini dimungkinkan oleh beberapa faktor berikut:
a. kesemarakan media massa –suratkabar dan majalah—telah membuka ruang yang makin luas bagi para cerpenis untuk mengirimkan karyanya. Di sana, rubrik cerpen mendapat tempat yang khas. Cerpen ditempatkan sama pentingnya dengan rubrik lain. Bahkan, di surat-surat kabar minggu, ia seperti sebuah keharusan. Di situlah tempat cerpen bertengger dan menyapa para pembacanya. Maka, hari Minggu adalah hari cerpen.
b. adanya kegiatan lomba menulis cerpen, memungkinkan cerpen tak hanya berada di hari Minggu, tetapi juga pada event atau peristiwa tertentu. Majalah Horison setiap tahun menyelenggarakan lomba penulisan cerpen. Begitupun Diknas, Pusat Bahasa atau lembaga lain yang juga melakukan kegiatan serupa. Sejak 1992, harian Kompas memulai tradisi baru dengan memilih cerpen terbaik dan memberi penghargaan khusus untuk penulisnya. Kegiatan ini mengangkat kedudukan cerpen dalam posisi yang istimewa.
c. terbitnya Jurnal Cerpen yang diasuh Joni Ariadinata, dkk. serta adanya Kongres Cerpen yang diselenggarakan berkala dalam dua tahun sekali –di Yogyakarta (1999), Bali (2001), Lampung (2003), dan kongres mendatang di Pekanbaru (November 2005), berhasil mengangkat citra cerpen secara lebih terhormat. Kegiatan itu sekaligus untuk menyosialisasikan keberadaan cerpen sebagai bagian dari kegiatan sastra. Bersamaan dengan itu, usaha sejumlah penerbit melakukan semacam perburuan naskah cerpen untuk diterbitkan, memberi harga dan martabat cerpen tampak lebih baik dibandingkan keadaan sebelumnya.
Meskipun posisi cerpen berada dalam keadaan yang begitu semarak dan memperoleh tempat istimewa, dalam hal regenerasi boleh dikatakan belum cukup signifikan. Masalahnya, secara substansial sejumlah cerpenis muda yang muncul belakangan, harus diakui, belum menunjukkan usahanya mengusung sebuah gerakan estetik yang kemudian menjadi sebuah mainstream. Arus besar cerpen Indonesia pascareformasi masih tetap didominasi nama-nama lama yang memang telah menjadi ikon cerpen Indonesia kontemporer. Cerpen Indonesia mutakhir masih tetap tak dapat menenggelamkan sejumlah nama yang muncul justru sebelum terjadi reformasi, seperti Budi Darma, Hamsad Rangkuti, Kuntowijoyo, Danarto, dan sederet panjang nama lain yang tergolong pemain lama. Mereka masih tetap menjadi bagian penting dalam peta cerpen Indonesia pascareformasi. Jadi, cerpenis lama dan baru, kini bertumpukan, semua ikut menyemarakkan peta cerpen Indonesia.
Martin Aleida misalnya, mengangkat tema korban politik bagi mereka yang terlibat PKI. Tetapi Martin termasuk pemain lama. Setidaknya ia sudah matang sebelum terjadi reformasi. Maka, ketika terbit Leontin Dewangga (2003), kita terkejut bukan karena ia sebagai pendatang baru, melainkan pada hasratnya mengangkat tema yang tak mungkin muncul pada zaman Orde Baru. Dari sudut itu, ia telah memperkaya tema cerpen Indonesia. Kasus Martin Aleida tentu berbeda dengan Linda Christanty yang juga sebenarnya termasuk pemain lama. Antologinya, Kuda Terbang Maria Pinto (2004) seolah-olah memperlihatkan ketergodaannya pada model dan style yang sedang semarak pada saat itu. Pengabaian latar tempat dengan permainan pikiran malah seperti sengaja membuyarkan unsur lain –yang dalam kerangka strukturalisme justru menempati posisi yang sama penting. Style itu memang pilihannya, dan Linda telah memilih cara itu.
Pendatang baru yang cukup menjanjikan muncul atas nama Eka Kurniawan. Karya pertamanya, antologi cerpen Corat-Coret di Toilet (2000) mula hadir kurang meyakinkan. Tetapi ketika novelnya Cantik itu Luka (2002) terbit yang ternyata mengundang kontroversi, namanya mulai diperhitungkan. Setelah itu terbit pula novel kedua, Lelaki Harimau (2004) yang memamerkan kepiawaian melakukan eksperimen. Dalam antologi cerpen yang terbit belakangan, Cinta tak Ada Mati (2005), Eka belum kehilangan semangat eksperimentasinya. Cerpen yang berjudul “Bau Busuk” menunjukkan kesungguhan Eka melakukan eksperimen.
Azhari, cerpenis kelahiran Aceh adalah pendatang baru yang lain lagi. Cerpennya, “Yang Dibalut Lumut” yang menjadi Juara Pertama Lomba Penulisan Cerpen Festival Kreativitas Pemuda, Depdiknas—Creative Writing Institute memperlihatkan kekuatannya dalam mengungkap kepedihan rakyat Aceh yang terjepit dalam konflik bersenjata antara aparat keamanan (: TNI) dan Gerakan Aceh Merdeka. Ia juga berhasil menyajikan sebuah potret kultural dan tradisi rakyat Aceh yang tidak dapat dipisahkan dari kehidupan keseharian masyarakat di sana. Antologi cerpen pertamanya, Perempuan Pala (2004) memperlihatkan sosok Azhari yang matang dalam memandang persoalan Aceh dalam tarik-menarik sejarah dan kebudayaannya yang agung dengan kondisi sosial dan politik yang menimpa rakyat Aceh yang justru menebarkan luka dan kepedihan. Boleh jadi antologi ini merupakan potret yang merepresentasikan kegelisahan masyarakat Aceh dalam tarik-menarik itu.
Dengan kekuatan narasi yang hampir sama, Raudal Tanjung Banua hadir meyakinkan. Antologi cerpennya, Pulau Cinta di Peta Buta (2003), Ziarah bagi yang Hidup (2004), dan Parang tak Berulu (2005) menunjukkan perkembangan kepengarangannya yang makin kuat. Lihat saja, cerpennya ““Cerobong Tua Terus Mendera” terpilih sebagai penerima Anugerah Sastra Horison 2004. Cerpen yang lain, “Tali Rabab” termasuk 15 cerpen terbaik dalam sayembara itu. Salah satu kekuatan Raudal adalah narasinya yang sanggup menciptakan suasana peristiwa begitu intens, metaforis, dan asosiatif. Pembaca dibawa masuk ke dunia entah-berantah. Lalu, tiba-tiba merasa ikut menjadi saksi peristiwa yang diangkat cerpen itu.
Sejumlah nama cerpenis lain yang kelak menjadi sastrawan penting Indonesia, dapat disebutkan beberapa di antaranya: Teguh Winarsho (Bidadari BersayapBelati, 2002), Hudan Hidayat (Orang Sakit, 2001; Keluarga Gila, 2003) Maroeli Simbolon (Bara Negeri Dongeng, 2002; Cinta Tai Kucing, 2003), Satmoko Budi Santoso (Jangan Membunuh di Hari Sabtu, 2003), Mustofa W Hasyim (Api Meliuk di Atas Batu Apung, 2004), Kurnia Effendi (Senapan Cinta, 2004; Bercinta di Bawah Bulan, 2004), Moh. Wan Anwar (Sepasang Maut, 2004), Yusrizal KW (Kembali ke Pangkal Jalan, 2004), Isbedy Stiawan (Perempuan Sunyi, 2004; Dawai Kembali Berdenting, 2004), Triyanto Triwikromo (Anak-Anak Mengasah Pisau, 2003), Damhuri Muhammad (Laras, Tubuhku bukan Milikku, 2005). Keseluruhan antologi itu menunujukkan kekuatan narasi yang lancar mengalir dan kedalaman tema yang diangkatnya. Dalam lima tahun ke depan, mereka akan ikut menentukan perkembangan sastra Indonesia.
Selain nama-nama itu, cerpenis wanita yang muncul dalam lima tahun terakhir ini, juga tidak dapat diabaikan kontribusinya. Selain Linda Christanty, masih ada deretan cerpenis wanita yang sebenarnya lebih kuat dan matang. Oka Rusmini (Sagra, 2002), Djenar Maesa Ayu (Mereka Bilang Saya Monyet, 2002; Jangan Main-Main (dengan Kelaminmu, 2004), Maya Wulan (Membaca Perempuanku, 2002), Intan Paramadhita (Sihir Perempuan, 2005), Nukila Amal (Laluba, 2005), Weka Gunawan (Merpati di Trafalgar Square, 2004), Labibah Zain (Addicted to Weblog: Kisah Perempuan Maya, 2005), Ucu Agustin (Kanakar, 2005), Evi Idawati (Malam Perkawinan, 2005). Mereka berpeluang mengikuti jejak seniornya, Nh Dini, Titis Basino, Leila S. Chudori, Ratna Indrswari Ibrahim atau Abidah el-Khalieqy.
Yang menarik dari karya cerpenis perempuan ini adalah semangatnya melakukan gugatan. Tokoh-tokoh perempuan yang dalam banyak karya para penulis laki-laki kerap menjadi korban dan tersisih, dalam karya para penulis perempuan itu, justru cenderung berada dalam posisi yang sebaliknya. Tokoh laki-laki kerap digambarkan tersisih dan kalah sebagai pecundang di bawah kekuasaan perempuan. Selain itu, mereka juga begitu berani mengangkat perkara seks untuk membungkus pesan ideologi jendernya.
Deretan panjang nama-nama lain yang kerap muncul di hari Minggu, patut pula mendapat perhatian. Tentu dengan melihat daya tahan dan konsistensinya mempertahankan kualitas dan kontribusi mereka bagi pemerkayaan khazanah cerpen Indonesia mutakhir. Akhirnya, seperti sinyalemen Budi Darma, dalam keadaan overproduksi, pengamatan cerpen Indonesia mutakhir dengan analisis yang mendalam, tak mungkin dapat dilakukan dalam rentang waktu yang pendek. Kita sekarang ini seperti sedang berhadapan dengan air bah yang bernama cerpen Indonesia kontemporer dan kita hanyut terseret dalam gelombang besar deras arusnya.







BAB III
PENUTUP
KESIMPULAN
Perkembangan sastra di Indonesia sepertinya mengalami problematika tersendiri. Terkadang periode kesusasteraan sulit sekali ditentukan dimana sebuah periode itu dimulai. Secara teori sejarah kesusasteraan di Indonesia ini masih tergolong muda, belum sampai berumur satu abad, sehingga masih banyak lobang-lobang yang perlu di gali. Oleh sebab itu dibutuhkan suatu bentuk kajian yang diharapkan mampu menarik dan menghidupkan sastra di Indonesia. Sastra Indonesia pasca-reformasi merupakan contoh kecil dari sejarah kesusasteraan Indonesia yang masih muda ini. Perlu di ketahui bahwa dengan mempelajari sastra berarti secara tidak langsung juga kita mempelajari sejarah yang membentuk sastra itu sendiri.
Setelah melakukan beberapa pendekatan yang disarankan, penulis dapat menarik suatu kesimpulan bahwa perkembangan sastra Indonesia pasca-reformasi telah sampai pada hakikatnya, yaitu bebas berekspresi. Reformasi telah menghantarkan sastra Indonesia ini pada bentuk yang baru, bentuk yang lebih radikal dan transparan. Sebagai contoh adalah cerpen, yang dalam perkembangannya sebelum reformasi tidak pernah mendapat tempat tertinggi dalam kesusasteraan Indonesia, yang dahulu tidak pernah dianggap sebagai bagian dari karya sastra. Sastra pasca-reformasi ternyata mampu mengangkat cerpen sebagai karya sastra yang paling diminati dan cepat berkembang.
Sekarang yang jadi permasalahan adalah apakah mampu sastra Indonesia ini memjadi solusi yang tepat dalam proses pengintegrasian bangsa, yang pada kenyataannya telah sampai pada titik nadir. Sebenarnya ini merupakan ladang yang baik bagi para sastrawan dan penikmat sastra untuk sampai pada esensi tertinggi dalam kesusasteraan.


DAFTAR PUSTAKA



Tidak ada komentar:

Posting Komentar