NILAI RELIGIUS DALAM NOVEL MENYEMAI CINTA DI NEGERI SAKURA KARYA LIZSA ANGGRAENY DAN SERIYAWATI
Ditulis untuk memenuhi salah satu tugas kelompok
Mata Kuliah : Pembelajaran Apresiasi Prosa Fiksi
Dosen : Agus Wismanto
Oleh :
NAMA NPM
Anita Emilda 08410203
Anita Misriyah 08410204
Candra Wijaya 08410211
Dhiyas Rezki 08410212
Ichsan Dwi 08410219
Khozinatul Ashror 08410223
Melian Istiana 08410226
M. Faiz Nashr 08410227
Puji Haryanto 08410233
Rusydina Husna 08410236
Sulicha 08410240
Tri Dina Kusuma 08410241
Yunita Ragilia 08410245
IKIP PGRI SEMARANG
FAKULTAS PENDIDIKAN BAHASA DAN SENI
PENDIDIKAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA
2010
BAB I
PENDAHULUAN
- Latar Belakang
Novel dalam arti umum berarti cerita berbentuk prosa dalam ukuran yang luas yaitu cerita dengan plot dan tema yang kompleks, karakter yang banyak dan setting cerita yang beragam. Novel merenungkan dan melukiskan realitas yang dilihat, dirasakan dalam bentuk tertentu. Pada dasarnya karya sastra merupakan karya cipta yang mengungkapkan kembali pengamatan dan pengalaman pengarang tentang peristiwa pada kehidupan yang menarik. Peristiwa-peristiwa itu merupakan peristiwa nyata atau mungkin hanya terjadi dalam dunia khayal pengarang.
Membaca novel berupa nilai-nilai dalam hal ini adalah nilai pendidikan yang digunakan sebagai cermin atau perbandingan dalam kehidupan. Membaca novel “Menyemai Cinta di Negeri Sakura” terlihat jelas bahwa meski berada jauh dari keluarga dan sanak saudara, berada di negeri yang individualis dan tidak mempedulikan agama, ia tetap menjaga islam dan mampu menarik masyarakat Nagoya untuk menjadi muslimin dan muslimah. Novel ini menitik beratkan pada aktivitas rohani, keteguhan seseorang terhadap agamanya yaitu islam.
- Tujuan Penulisan
Ø Mengetahui Sinapsis Novel “Menyemai Cinta Di Negeri Sakura”
Ø Mengetahui unsur-unsur Intrinsik Novel “Menyemai Cinta Di Negeri Sakura”
Ø Mengetahui Unsur-Unsur Ekstrinsik dalam Novel “Menyemai Cinta Di Negeri Sakura”
Ø Mengetahui Nilai Religius dalam Novel “Menyemai Cinta Di Negeri Sakura”
BAB II
PEMBAHASAN
- SINAPSIS NOVEL
Novel “Menyemai Cinta di Negeri Sakura” karya Lizsa Anggraeny dan Seriyawati menceritakan tentang seorang wanita yang tinggal di Jepang tepatnya di Nagoya. Dia selalu menjaga pendirian islamnya. Dia bernama Ummu S menikah dengan pria pilihannya yang bernama Joy. Berharap berkecukupan dan kebahagiaan dalam hidupnya. Namun harapan itu hanyalah semu.
Istri identik dengan pembantu bagi suami. Perlakuan kasar secara fisik/ melalui ucapan yang melukai hati. Sering terlontar dari laki-laki yang menjadi Qawwam baginya. Perintah-perintah otoriter yang mutlak tak dapat dilanggar. Lemahnya iman dan tak kuatnya dasar pijakan Ruhiyah, menyebabkan dia terombang ambing dalam kehidupan.
Seiring berjalannya waktu. Suatu hari ketika memandang cermin. Ummu S merasa banyak kekurangan dalam tubuhnya. Hidung yang tidak mancung *(pesek = Bahasa Jawa), bulu mata yang tidak lentik, serta berbagai titik minus lainnya yang menimbulkan kekecewaan dalam diri, menimbulkan organ-organ yang tak menghargai kondisi apa adanya. Hingga ketika mencuci piring, tanpa disadari ibu jari tangan kirinya terluka oleh pecahan gelas yang ditumpuk bersama dengan piring kotor. Sehingga dia harus dirawat ke UGD. Ternyata menurut ahli syaraf, otot ibu jari tangan kirinya ada yang putus. Maka dari itu telapak tangan kirinya harus di gips selama 3 pekan. Dan perlu waktu kira-kira 3 bulan untuk mengembalikan fungsi otot. Ini semua terjadi akibat dirinya yang tidak mensyukuri anugerah yang ada.
Sekian lama Ummu S memakai jilbab membuat suaminya risih dan menyuruh untuk melepas jilbab. Ummu S hanya diam dan dengan ragu dia menuruti perintah suami. Semakin lama akhirnya dia gerah dengan perbuatan buka tutup jilbab. Merasakan dikejar oleh dosa, merasa mempermainkan Allah. Karena takut akan laknat Allah maka ia pun menentang perintah suaminya dan kembali berjilbab sepenuhnya. Tiap malam memanjatkan dan memohon kekuatan dan kesabaran dan petunjuk-Nya.
Meskipun hidup jauh dari suasana keislaman, seperti tidak terdengarnya suara adzan dari masjid-masjid, mushola ataupun langgar, ceramah-ceramah keagamaan di TV atau majelis taklim, tetapi mereka yang minoritas senantiasa berusaha saling menjaga keimanan dan membuat beragam kegiatan. Bahkan di negeri orang inilah rasa persaudaraan sesama perantauan terasa mudah terjalin dan terikat kuat.
Setelah tinggal di Jepang, tidak sedikit yang makin meningkat keimanannya dan memakai jilbab. Bahkan Ummu S bisa mengajak teman-temannya sesama orang Indonesia memakai jilbab dan juga membuat orang Jepang menjadi tertarik dengan agama islam. Di Nagoya, kota tempat tinggal Ummu S ada kegiatan pengajian keluarga yang dilaksanakan tiap hari ahad pekan kedua. Acara itu diadakan dirumah salah satu keluarga secara bergantian tiap bulannya. Lalu tiap hari Ahad di akhir bulan ada pengajian umum yang sebelumnya dimulai dengan acara mengaji untuk anak-anak.
Selain itu, untuk menambah jam belajar dan bermain bersama anak-anak, ada pula kegiatan mengaji tiap hari Sabtu di Masjid Nagoya. Juga ada kegiatan mengkaji Al- Qur’an bagi ibu-ibu. Kelompok mengaji Al- Qur’an ada beberapa kelompok berdasarkan wilayah tempat tinggal karena tempat tinggal mereka tersebar.
Untuk mereka para muslimah ada milis Fahima sebagai wadah forum silaturahmi muslimah di Jepang yang mencakup sampai ke negara-negara lain. Ada muslimah dari Perancis, Singapura, Qatar, Amerika dan lain-lain.
Selama di Nagoya dia berhasil menyebarkan agama islam pada warga Jepang yang minoritas islam itu. Mereka tertarik dengan ajaran Ummu S hingga semua anggota berhasil membuat wadah atau organisasi islamiyah di berbagai daerah di Nagoya. Ia pun mampu mengajak sang suami menjadi muslim. Anak-anaknya pun senang menggeluti kegiatan rohani.
Terlihat jelas bahwa meski berada jauh dari keluarga dan sanak saudara, berada di negeri yang individualis dan tidak mempedulikan agama, ia tetap menjaga islam dan mampu menarik masyarakat Nagoya untuk menjadi muslimin dan muslimah. Tetap rutin beribadah menjalankan perintah Allah meski suara adzan lirih terdengar, masyarakat yang hanya memikirkan karier dan segala sesuatu duniawiah saja. Novel ini menitik beratkan pada aktivitas rohani, keteguhan seseorang terhadap agamanya yaitu islam.
- ANALISIS UNSUR-UNSUR INTRINSIK NOVEL MENYEMAI CINTA DI NEGERI SAKURA KARYA LIZSA ANGGRAENY DAN SERIYAWATI
- Alur
Alur adalah sambung-sinambungnya peristiwa berdasarkan hukum sebab akibat. Alur tidak hanya mengemukakan apa yang terjadi, tetapi yang lebih penting ialah menjelaskan mengapa hal itu terjadi, dengan sambung-sinambungnya peristiwa ini terjadilah sebuah cerita. Macam-macam pengaluran yaitu : alur maju, alur mundur dan alur campuran.Berdasarkan teknik pengaluran, novel Menyemai Cinta di Negeri Sakura menggunakan alur mundur atau sorot balik (flash back).
“Hari itu aku pergi berbelanja ke Supermarket yang agak jauh dari rumahku….” (Lizsa, 2007: 166).
“Kejadian itu telah berlalu beberapa tahun, tetapi masih membekas kuat dalam ingatan. Karena aku tak tahu mengapa pertanyaan seperti itu terlontar. Hingga kini ku tak tahu jawabnya….” (Lizsa, 2007: 190).
- Tokoh dan Penokohan
Tokoh adalah pelaku cerita , sedangkan penokohan adalah karakteristik tokoh. Tokoh dan Penokohan dalam novel “Menyemai Cinta di Negeri Sakura” menampilkan tokoh protagonis dan antagonis antara lain :
§ Joy wataknya antagonis
“Joy, seorang suami yang otoriter (perintah yang mutlak tidak boleh dilanggar). Namun, disisi lain sebenarnya ia sangat menyayangi istrinya yaitu Ummu S.” ( Lizsa, 2007: 17).
§ Ummu S wataknya protagonis
“Ummu S, istri Konsulat Bosnia. Lahir dan besar sebagai seorang muslim. Namun, tergerak hati untuk belajar agama di usia senja. Ia seorang ibu rumah tangga, sabar dan pengalah.” (Lizsa, 2007: 15).
§ Ibu Mertua wataknya antagonis
“Saya percaya, galaknya mertua, cerewetnya mertua atau cap miring apalah yang ada pada mertua, tidak lebih semata-mata karena mereka pun adalah manusia. Hamba Allah yang tak lepas dari sifat baik dan buruk. Namun ada kalanya ibu mertua seperti sahabat yang bisa diajak curhat. Kalaupun ada pergesekan,saya anggap hal yang wajar tak perlu dimasukkan dalam hati.” (Lizsa, 2007: 68-69).
- Latar atau Setting
Latar adalah tempat suatu peristiwa dalam cerita yang bersifat fisikal biasanya berupa waktu, tempat dan ruang. Termasuk didalam unsur latar adalah waktu, hari, tahun, periode sejarah, dan lain-lain.Latar cerita mencakup kerengan-keterangan mengenai keadaan sosial dan tempat dimana peristiwa itu terjadi.
Latar dalam novel “Menyemai Cinta di Negeri Sakura”meliputi :
v Waktu
Novel “Menyemai Cinta di Negeri Sakura” menggunakan istilah waktu dalam cerita seperti pagi, sore, malam, sekian hari, sekian minggu, sekian bulan dan sebagainya.
“Dua minggu kebelakang saya mendapat kabar gembira dari seorang sahabat melalui telepon.” (Lizsa, 2007: 16)
“…..Kejadian tersebut telah berlalu lewat dari 10 tahun. Meski kini tak pernah lagi mengejar bus jurusan ini. Namun peristiwanya masih lekat dibenak.” (Lizsa, 2007: 43)
v Tempat
Tempat yang digunakan dalam novel “Menyemai Cinta di Negeri Sakura”di Negara Jepang tepatnya di Nagoya. Tempat tinggal Ummu S setelah menikah dengan Joy.
“Di Nagoya tempat tinggal saya ada kegiatan pengajian keluarga yang dilaksanakan tiap hari ahad pekan ke dua”. (Lizsa, 2007: 192)
v Suasana
Suasana yang tergambar dalam novel ini adalah suasana kota Nagoya yang Individualis. Negara sekuler yang tak peduli akan keberadaan agama. Kehidupan bebas, hedonisme, serta mementingkan karier duniawiah saja.
- Gaya Bahasa
Bahasa dalam karya sastra mempunyai fungsi ganda. Ia tidak hanya sebagai alat penyampaian maksud pengarang, melainkan juga sebagai penyampaian perasaan. Bahasa dalam novel ini menggunakan bahasa tak baku. Bahasa yang tidak sesuai dengan EYD. Terdapat dalam kutipan berikut
“Nggak….nggak suka ah,”kata Kiki dengan wajah tak suka. (Lizsa, 2007:130)
“Ah….masih agak sepi, nih,” batinku senang. (Lizsa, 2007: 119)
“Ah….masih agak sepi, nih,” batinku senang. (Lizsa, 2007: 119)
Serta menggunakan gaya bahasa personifikasi yaitu membandingkan benda yang tercantum dalam kutipan berikut :
“….suara hati yang satu makin menonjolkan dorongannya.”
“Tapi aku ragu, dan sedikit takut kalau nanti tak berjalan lancar….,” bisik hati yang lain. (Lizsa, 2007: 118).
“Tapi aku ragu, dan sedikit takut kalau nanti tak berjalan lancar….,” bisik hati yang lain. (Lizsa, 2007: 118).
- Amanat
Amanat adalah suatu ajaran moral atau pesan yang ingin disampaikan pengarang. Amanat dipakai pengarang untuk menyampaikan tanggung jawab problem yang dihadapi pengarang lewat karya sastra.Amanat yang terdapat dalam novel “Menyemai Cinta di Negeri Sakura” adalah :
“Hendaknya seseorang bersabar dalam segala hal menghadapi cobaan hidup, tetap mempertahankan islam diri di Negara yang minoritas Islam, hura-hura, hedonisme dan sebagainya. Dan setidaknya kita mampu mengajak non muslim atau orang-orang tak beragama untuk bergabung masuk islam dengan teknik pengajaran yang menarik.”(Lizsa, 2007 :192).
- Tema
Tema adalah dasar cerita. Novel Menyemai Cinta di Negeri Sakura karya Lizsa Anggraeny dan Seriyawati mengisahkan pelaku utama yaitu Ummu S dengan segala permasalahan yang dihadapi maka akan ditemukan ide dasar cerita atau tema yang terkandung didalam karya sastra tersebut.Adapun tema dari novel ini ialah keteguhan hati dan pendirian agama dalam negeri perantauan.
- Sudut Pandang
Sudut Pandang ialah cara pengarang menampilkan para pelaku dalam cerita yang dipaparkan. Sudut Pandang merupakan hasil karya seorang pengarang sehingga terdapat pertalian yang erat antara pengarang dengan karyanya. Dalam novel ini adalah pengarang sebagai orang pertama dengan kata aku atau –ku untuk tokoh utama.
“Aku menguatkan diri sendiri dengan menceramahi diri, mengolok diri dan mempertanyakan langkah-langkahku selama ini.” ( Lizsa, 2007: 109)
“Disinilah, cintaku bersemi dan makin mekar kepadaNya. Yang kuharap hanyalah cintaNya.” (Lizsa, 2007: 109)
- UNSUR-UNSUR EKSTRINSIK DALAM NOVEL MENYEMAI CINTA DI NEGERI SAKURA KARYA LIZSA ANGGRAENY DAN SERIYAWATI
Unsur Ekstrinsik novel adalah unsur yang berasal dari luar cerita. Meliputi nilai religi, nilai susila atau nilai estetika serta nilai sosial dan sebagainya. Nilai-nilai tersebut didapat dalam novel “Menyemai Cinta di Negeri Sakura”meliputi:
ü Nilai Estetika
Semua karya sastra atau karya seni memiliki keindahan apabila terdapat keutuhan antara bentuk dan isi, keseimbangan dan keserasian penampilan dari karya seni yang lain. Nilai keindahan akan tampak lebih relatif, jika yang kita perhatikan adalah penilaian atau penghargaan terhadap sastra itu.
Nilai susila atau estetika dapat terlihat dalam kutipan berikut :
“Saya mendengar itu hanya bisa ikut tersenyum geli. Tapi tidak demikian dengan ibu dari sang anak tersebut. Mimik sang ibu terlihat kaget. Ia langsung mendekati saya dan berkata,” Maaf…maafkan anak saya…maaf ,”ujar sang ibu. (Lizsa, 2007: 84)
“Saya mendengar itu hanya bisa ikut tersenyum geli. Tapi tidak demikian dengan ibu dari sang anak tersebut. Mimik sang ibu terlihat kaget. Ia langsung mendekati saya dan berkata,” Maaf…maafkan anak saya…maaf ,”ujar sang ibu. (Lizsa, 2007: 84)
Bagi setiap orang yang melakukan suatu kesalahan hendaknya segera mengucap maaf, itu adalah cara berperilaku yang baik. Terdapat kata membungkukkan badan, bagi orang Indonesia terutama Jawa itu menunjukkan sikap yang sopan dan menghormati orang lain.
ü Nilai Sosial
Keadaan seseorang sebagai individu tidak terlalu penting. Tetapi individu ini secara bersama membantu masyarakat yang selaras akan menjamin kehidupan yang lebih baik bagi masing-masing individu. Manusia tidak bisa lepas hidup sendiri terpisah dari yang lainnya.
Dalam novel ini banyak terlihat interaksi sosial yang terjadi. Antara lain : suasana kebersamaan, saling membantu, menghargai, menghormati dan menyayangi satu sama lain dalam mengerjakan sesuatu akan menghasilkan hal positif. Hal inilah yang dinamakan nilai kerukunan atau nilai sosial.
“Manusia perlu dihargai, dihormati dan diperlakukan secara layak. Sudah sepantasnya kita menghargai jerih payah dan keinginannya untuk membantu tugas rumah tangga meski tanpa adanya limitasi pekerjaan.”(Lizsa, 2007: 74)
ü Nilai Moral
Moral merupakan tingkah laku perbuatan manusia dipandang dari nilai baik-buruk, benar dan salah berdasarkan adaptasi kebiasaan dimana individu itu berada. Pesan-pesan moral yang terdapat pada novel “Menyemai Cinta di Negeri Sakura” ini bisa diambil setelah membaca dan memahami isi ceritanya..
“Aku menguatkan diri sendiri dengan menceramahi diri, mengolok diri dan mempertanyakan langkah-langkahku selama ini.” ( Lizsa, 2007: 109)
“Aku menguatkan diri sendiri dengan menceramahi diri, mengolok diri dan mempertanyakan langkah-langkahku selama ini.” ( Lizsa, 2007: 109)
- NILAI RELIGIUS DALAM NOVEL MENYEMAI CINTA DI NEGERI SAKURA KARYA LIZSA ANGGRAENY DAN SERIYAWATI
Unsur Ekstrinsik yang ada antara lain nilai religi. Dalam novel ini yang menonjol adalah aspek reliusitasnya. Hal ini dikarenakan Agama dan pandangan hidup kebanyakan orang menekankan kepada ketentraman batin, keselarasan dan keseimbangan serta sikap menerima terhadap apa yang terjadi.
Kehadiran unsur religius dan keagamaan dalam sastra adalah setua keberadaan sastra itu sendiri. Bahkan, sastra tumbuh dari sesuatu yang bersifat religius. Pada awal mula segala sastra adalah religius (Mangunwijaya, 1982: 11). Istilah “religius” membawa konotasi pada makna agama. Religius dan agama memang erat berkaitan, berdampingan, bahkan dapat melebur dalam satu kesatuan, namun sebenarnya keduanya menyaran pada makna yang berbeda.
Agama lebih menunjukkan pada kelembagaan kebaktian kepada Tuhan dengan hukum-hukum yang resmi. Religiositas, di pihak lain, melihat aspek yang di lubuk hati, riak getaran nurani pribadi, totalitas kedalaman pribadi manusia. Dengan demikian, religius bersifat mengatasi, lebih dalam, dan lebih luas dari agama yang tampak, formal, dan resmi (Mangunwijaya, 1982: 11-2). Seorang religius adalah orang yang mencoba memahami dan menghayati hidup dan kehidupan ini lebih dari sekedar yang lahiriyah saja. Dia tidak terikat pada agama tertentu yang ada di dunia ini. Moral religius menjunjung tinggi sifat-sifat manusiawi, hati nurani yang dalam, harkat dan martabat serta kebebasan pribadi yang dimiliki oleh manusia.
Agama adalah risalah yang disampaikan Allah kepada Nabi sebagai petunjuk bagi manusia dalam menyelenggarakan tata cara hidup yang nyata serta mengatur hubungan dan tanggung jawab kepada Allah, dirinya sebagai hamba Allah, manusia dan masyarakat serta alam sekitarnya
Pandangan hidup yang demikian jelas memperhatikan bahwa apa yang dicari adalah kebahagiaan jiwa, sebab agama adalah pakaian hati, batin atau jiwa. Kesadaran religius dalam upaya mengembangkan kepribadian melalui pendidikan dan pengajaran.
Nilai religius dalam novel “Menyemai Cinta di Negeri Sakura” antara lain:
· Meskipun hidup jauh dari suasana keislaman, seperti tidak terdengarnya suara adzan dari masjid-masjid, mushola ataupun langgar, ceramah-ceramah keagamaan di TV atau majelis taklim, tetapi mereka yang minoritas senantiasa berusaha saling menjaga keimanan dan membuat beragam kegiatan.
“Ada kegiatan mengkaji Al- Qur’an bagi ibu-ibu. Kelompok mengaji Al- Qur’an ada beberapa kelompok berdasarkan wilayah tempat tinggal karena tempat tinggal mereka tersebar. “(Lizsa, 2007: 127)
“Untuk mereka para muslimah ada milis Fahima sebagai wadah forum silaturahmi muslimah di Jepang yang mencakup sampai ke negara-negara lain. Ada muslimah dari Perancis, Singapura, Qatar, Amerika dan lain-lain.” (Lizsa, 2007: 88)
- Di bulan Ramadhan amalan sunnah dihitung sebagai amalan fardlu diberi ganjaran 700X lipat. Dihapus dosanya dan dibukakan pintu surga.
“Terbukanya pintu surga Al-Rayyan bagi orang-orang yang berpuasa. Juga menghapus dosa-dosa yang lalu.” (Lizsa, 2007: 188)
- Jadilah seseorang yang menyemai cinta pada-Nya meski berada dalam perantauan. Kegiatan para tokoh memberi nilai religius dapat terlihat dalam kutipan berikut:
”…..Allah membimbingnya untuk datang ke sebuah pengajian keliling di daerahnya….”(Lizsa, 2007: 17-18)
“Di Nagoya kota tempat tinggal saya ada kegiatan pengajian keluarga yang dilaksanakan tiap hari ahad pekan kedua. Acara itu diadakan dirumah salah satu keluarga secara bergantian tiap bulannya. “(Lizsa, 2007: 192)
BAB III
PENUTUP
A. Simpulan
Hasil analisis unsur Intrinsik dan Ekstrinsik dalam novel Menyemai Cinta di Negeri Sakura karya Lizsa Anggraeny dan Seriyawati. Unsur Intrinsik meliputi : Alur, Tokoh dan Penokohan, gaya bahasa, sudut pandang, tema, latar/setting, amanat.
Unsur Ekstrinsik yang ada antara lain nilai sosial, saling membantu, menghargai, menyayangi satu sama lain serta nilai estetika kesopanan dalam bertingkah laku yang dilakukan tokoh dalam novel adalah ucapan maaf bila sekiranya telah berbuat kesalahan. Itu akan lebih baik daripada tidak mengucap sekalipun. Tetapi yang menonjol adalah nilai religi nya yaitu adanya masjid tergambar dalam cerita novel meski hanya sedikit, acara siraman rohani dan lain sebagainya,
Novel Menyemai Cinta di Negeri Sakura memiliki hikmah bahwa meski berada di Negeri minoritas muslim, ia dapat mempertahankan dan menyebar islam dalam bentuk kegiatan muslim yang makin mempererat ukhuwah islam.
B. Saran
Dalam penyusunan makalah ini penulis telah berusaha mencapai hasil yang sempurna, namun kaerena teterbatasan pencarian data dan penulis dalam menyusun makalah ini. Maka dari itu penulis mengharapkan kritik dan saran. Akhir kata semoga makalah ini bermanfaat bagi para pembaca sekalian.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar