KRITIK
EKSPRESIF
PENJELASAN
LANGSUNG PENGARANG
DALAM
NOVEL SAMAN KARYA AYU UTAMI
Ditulis untuk memenuhi salah satu tugas
individu
Mata Kuliah : Kritik Sastra
Dosen Pengampu : Dra. Ambarini, A.S., M. Hum.
Oleh :
Nama : Anita Misriyah
NPM :
08410204
Kelas : 7E
IKIP
PGRI SEMARANG
FAKULTAS PENDIDIKAN BAHASA DAN SENI
PENDIDIKAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA
2011
KRITIK EKSPRESIF PENJELASAN LANGSUNG
PENGARANG
DALAM NOVEL SAMAN KARYA AYU UTAMI
Justina Ayu Utami lahir di
Bogor, Jawa Barat, 21 November 1968. Ia menamatkan kuliah di jurusan Sastra
Rusia, Fakultas Sastra Universitas Indonesia. Ia adalah seorang aktivis
jurnalis dan novelis Indonesia, pernah menjadi wartawan di majalah Humor, Matra, Forum Keadilan, dan D&R. Tak lama
setelah penutupan Tempo,Editor dan Detik di masa Orde Baru, ia ikut mendirikan
Aliansi Jurnalis Independen yang memprotes pembredelan. Kini ia bekerja di
jurnal kebudayaan Kalam dan di Teater Utan Kayu. Novelnya yang pertama, Saman, mendapatkan sambutan dari berbagai kritikus dan
dianggap memberikan warna baru dalam sastra Indonesia.
Tulisan Ayu banyak mengenai kehidupan sehari-hari yang
sederhana, tetapi menekankan aspek keadilan dan hak-hak sipil. Seperti yang
tercermin dalam novel Saman. Novel Saman dikemas sangat serius tapi
santai, mengupas tentang bagaimana penindasan orang yang tinggal di prabubulih.
Dalam hal inilah tokoh Athanasius Wisanggeni yang tak lain adalah Saman muncul
sebagai orang yang membela hak-hak orang yang tertindas. Saman sendiri adalah
orang yang menggerakan mata masyarakat akan perlunya sebuah keadilan yang harus
ditegakan, walau bagaimana derajat orang itu kalau memang salah, ya harus di
hukum. Kutipan :
“Siapapun yang memulai, merekalah
yang tetap dipersalahkan dalam hokum. Status mereka kini buron. Orang-orang
yang membakar Upi, menggagahi istri Anson, mencabuti karet-karet muda, menjadi
tidak relevan untuk dibicarakan hakim. Mereka malah tidak dipersalahkan.” (hal
110).
Novel Saman karya Ayu Utami merupakan novel yang menarik perhatian, menawan
dan mengasikkan. Saman memberikan warna baru dalam dunia sastra. Cerita yang
disampaikan terangkai sempurna. Novel ini bercerita tentang seorang pemuda yang
bernama Saman, yang akhirnya menanggalkan “jubah kepastoran”nya itu, dan
menjadi aktivis buron. Sebagai seorang aktivis, Saman mengembangkan hubungan
seksual dengan sejumlah perempuan. Keempat tokoh perempuan tersebut adalah
Shakuntala, Laila, Cok, dan Yasmin. Mereka tergolong masih muda, berpendidikan
dan berkarier. Sebagai layaknya sahabat, mereka saling bertukar cerita mengenai
pengalaman-pengalaman cinta yang erotis.
Dan mendefinisikan seksualitas perempuan. Kutipan:
“Namaku Shakuntala. Ayah dan kakak perempuanku menyebutku sundal. Sebab aku telah tidur dengan beberapa lelaki dan beberapa perempuan. Meski tidak menarik bayaran. Kakak dan ayahku tidak menghormatiku. Aku tidak menghormati mereka. Sebab bagiku hidup adalah menari dan menari pertama-tama adalah tubuh. Seperrti Tuhan baru meniupkan nafas pada hari keempat puluh setelah sel telur dan sperma menjadi gumpalan dalam rahim, maka ruh berhutang pada tubuh. Tubuhku menari. Sebab menari adalah eksplorasi yang tak habis-habis dengan kulit dan tulang-tulangku, yang dengannya aku rasakan perih, ngilu, gigil, juga nyaman. Dan kelak ajal.
Tubuhku menari. Ia menuruti bukan nafsu melainkan gairah. Yang sublim. Libidinal. Labirin” (hal.115-116)
Dalam novel saman, dengan kata-kata yang membuat telinga tercengang, sangat kental dengan sex. Ayu Utami
secara langsung juga mengungkapkan cinta terlarang yang dijalani Laila dan
Sihar. Laila jatuh cinta pada seorang yang sudah beristri. Laila sangat
mencintai Sihar dan ingin berhubungan badan dengan Sihar, walaupun Sihar sudah
beristri. Dan dengan menggebu-gebunya, serasa laila ingin sekali bercinta
dengan sihar. Kutipan:
“Lalu cinta menjadi sesuatu yang
salah. Karena hubungan tidak tercakup kedalam konsep yang dinamakan pernikahan.
Ia sering merasa berdosa pada istrinya Semakin lama, itu seperti semakin
menghantuinya.” (hal 26)
“Dan kita di New York,. Beribu-ribu
mil dari Jakarta. Tak ada orang tua, tak ada istri. Taka da dosa Tapi kita bisa
kawin lalu bercerai. Taka da yang perlu ditangisi. Bukankah kita saling
mencintai “ (hal 30)
Meskipun Ayu Utami selalu mengungkapkan tentang berhubungan badan atau sex
bebas dalam novel ini, tetapi Ayu juga tidak melupakan adat ketimuran kita. Dia
dengan pawainya membubuhi ceritanya dengan adat ketimuran. Ayu membandingkan
antara adat timur dan barat. Yang sebenarnya mengajarkan kita untuk ingat bahwa kita berada dalam
budaya timur yang masih terikat dengan norma-norma. Seperti dalam kutipan :
“Di tanah ini orang-orang berkisah
tentang negerimu. Dan negeri kami, orang-orangmu dan orang-orang kami. Kami
orang timur yang luhur. Kalian Barat yang bejat. Kaaum wanitanya memakai bikini
di jalan raya dan tidak menghormati keperawanaan, sementara anak-anak
sekolahnya, lelaki dan perempuan hidupbersama tanpa menikah. Di negeri ini sex
adalah milik orang dewasa lewat penikahan.” (hal 135)
Penulisan Novel Saman ini Ayu Utami mengajak mengajak umat Katolik untuk
kritis terhadap hidup menggereja, yang merupakan kenyataan social dilingkungan
kita. Tetapi hal ini terkadang justru membuat
kebingungan pembaca. Apalagi pembaca yang tidak tahu menahu tentang hidup
menggereja. Tetapi sebenarnya dari penjelasan pengarang ini memberikan
pengetahuan kepada pembaca tentang hidup menggereja, seorang pastor, kegiatan
misa dan lain-lain. Seperti dalam kutipan:
“Dia adalah satu di antara tiga lelaki yang berada dalam cahaya yang masuk dari tiga jendela di atas altar. Terang yang lain menerobos lewat fragmen kaca patri yang terjajar sepanjang dinding gereja. Bayangan-bayangan pun jatuh, memanjang ke tujuh penjuru dari kaki pilar-pilar korintia. Juga dari kaki patung para sanctus. Terang yang paling kecil datang dari lilin-lilin yang dinyalakan koster sebelum misa pentahbisan dimulai. Tiga pemuda itu berjubah putih, lumen de lumine, dan Bapa Uskup dengan mitra keemasan memanggil nama mereka satu persatu. Juga namanya: Athanasius Wisanggeni.”
(hal 40)
Dalam novel ini, betapa “jorok” Ayu Utami memadukan kata-kata atau bahasa dalam novel ini,
hal tersebut bukan menjadi masalah sebab karya sastra selalu berkembang dan dinamis,
sesuai tuntutan zaman dan masyarakat pendukungnya. Dari penjelasan kata-kata Ayu
Utami, terkesan vulgar dan blak-blakan dalam tiap karyanya. Membangkitkan nafsu
birahi pembaca. Seperti dalam kutipan:
“Kami melakukannya tanpa melepaskan
pakaian, sebab hari masih terlalu dingin untuk telanjang. Setelah itu,
mengulanginya di kamar hotel, tanpa berlekas-lekas dimana kulit saya menikmati
kulitnya, dan kulitnya menikmati kulit saya, sebab kami telah menanggalkan
semua pakaian. Dan kami berkeringat. Lalu setelah usai, kami akan bercerita
satu sama lain. Tentang apa saja. Setelah itu, saying, kita tertidur. Dan
ketika terbangun, kita begitu bahagia. Sebab ternyata kita tidak berdosa. Meskipun
saya tidak lagi perawan.”(hal 30)
“Dan aku menamai keduanya puting
karena merupakan ujung busung dadamu. Dan aku menamainya kelentit karena serupa
kontol yang kecil.” (hal. 198).
“Saman, tahukah kamu, malam itu,
malam itu yang aku inginkan adalah menjamah tubuhmu, dan menikamati wajahmu ketika
ejakulasi. Aku ingin dating kesana. Aku ajari kamu. Aku perkosa kamu.”(hal 195)
Yaa begitulah ciri khas kepenulisannya.
“Pembicaraan tentang seks, cinta, politik, dan agama, serta perasaan-perasaan
yang saling bertaut antar para tokoh digambarkan tanpa beban, bebas sebebas-bebasnya Tapi
inilah ciri seorang penulis Ayu Utami mengelola kreativitasnya. Dia juga mahir
dalam memadukan kata-kata kepenulisannya dengan gaya bahasa yang luar biasa. Seperti dalam kutipan:
“Saya akan pacaran seperti burung
berbusung berbusung bersih di ranting tadi. Saya akan pelukan, ciuman, jalan-jalan, dan minum di Russian Tea Room.
Dan kalau dia datang, dia akan tahu sudah terlalu kangen pada bau pelukannya,
pada hangat lidahnya yang harum tembakau skoal. Sudah 402 hari seteah ciuman
kami terakhir, saya selalu ingat tanggal. Sebab siang itu menyisakan kegetiran,
seperti biji duku yang tergigit dan tertelan. Untuk kesempatan lain yang
mungkin. Yang barangkali juga tak mungkin”. (hal 2-3)
“Malam harinya, di kamar tidur
pastoran, kegelisahan membolak-balikkan tubuhnya di ranjang seperti orang mematangkan
ikan di penggorengan.”(hal 73)
“Muka berubah, seperti semangkuk
sup panas dan sepotong kerupuk dicemplungkan kesana” (hal 118).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar